Ajaran dan Pemerintahan Tertua di Dunia Ada di Nusantara

Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan para Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra.

Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang) pada periode 100.000 – 74.000 SM. Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya (Matahari). Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km/2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut.

Masa berganti cerita berubah, pusat kebudayaan bangsa Sunda yang disebut dengan mandala Hyang bergeser ke arah Selatan ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). 


Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”. 

Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa), dan mengakibatkan banjir besar dan berakhirnya zaman es pada sekitar 15.000 SM. Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang dan tenggelam. Paska peristiwa banjir besar tersebut, bangsa Sunda kembali membangun peradabannya hingga menurut cerita dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sindhu (Sang Hyang Tambleg meneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian mengajarkan kepercayaan Sundayana (Sindu ~ Sandi ~ Sunda). Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Perjalanan Prabu Sindu ke wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto, ajaran Surya (matahari), bahkan ajaran tersebut kemudian dijadikan bendera bangsa. Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang. Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang hingga kini masih tersisa di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta agama Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup, dan bila dikaji lebih mendalam ajaran ini merupakan ajaran ”Monotheisme” atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kebudayaan bangsa Sunda yang berlokasi di sekitar Gunung Sunda (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), dibuktikan dengan ditemukannya fakta sejarah, dan penemuan arkeologis yang ada daerah Sumatera bagian Tengah dan Jawa bagian Barat, sebagai berikut:

1. Kota Barus di pesisir Barat Sumaetara

Merupakan satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun SM.

2. Kerajaan Melayu Tua di Jambi
Meliputi : kerajaan Kandis yang terletak di Koto Alang, wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada periode 1 Sebelum Masehi. Di samping itu, di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu: Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau.

3. Kerajaan Salakanagara.
Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka. Tidak diketahui pasti sejak kapan berdirinya kerajaan Salakanagara, namun berdasarkan catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM, yang tidak lain adalah Salakanagara. Naskah Wangsakerta menyebutkan bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan kerajaan Salakanagara di Jawa Barat. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M. Kerajaan Salaka Nagara, memiliki raja bernama Dewawarman (I – VIII), yang menjadi asal muasal kemaharajaan Sunda Nusantara.

4. Situs Gunung Padang, Cianjur.
Merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Menurut legenda dan cerita para leluhur, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Dan ada juga yang mengatakan bahwa situs ini merupakan tempat penobatan para raja yang ada di dalam wilayah kemaharajaan Sunda Nusantara. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda (Sunda Wiwitan) untuk melakukan upacara. Berdasarkan Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan adanya suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, yang tidak lain adalah situs ini.

Diduga situs gunung padang sesungguhnya bukanlah gunung, melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik, sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. Di dalam situs gunung padang dipercaya memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah. Dalam situs gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang pada bagian atasnya. Jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari batu itu dapat dimainkan dengan benar.

Laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, Amerika Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari Situs Gunung Padang, sebagai berikut : 


1). Pada lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter (diduga man made stuctures/struktur yang dibuat oleh manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Usia bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM. 

2). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini sangat mengejutkan!!! Artinya Situs Gunung Padang ini telah ada sebelum peristiwa banjir besar (berakhirnya zaman es). 

Kontroversi merebak setelah Tim Katastropik Purba merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang. "Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang". "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade." Kecurigaan ini berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari Utara.

Bangsa kita ini begitu aneh, mau saja didikte oleh para ilmuwan Barat bahkan hampir 100% turut menyepakati pendapat bangsa lain, misalnya ketika negara dan bangsa Indonesia dikategorikan sebagai bangsa kelas tiga ataupun ketika disebut sebagai negara berkembang. Barat menetapkan bahwa kebudayaan Mesir dan Yunani (6000 - 5000 SM) sebagai peradaban tertua di bumi, ilmuwan negeri kita ikut mendukung propaganda 'ilmiah' itu. Entah kenapa, ilmuwan sejarah dan kepurbakalaan bangsa kita sepertinya takut untuk melahirkan teori baru tentang peradaban atau memang otaknya kurang cerdas. Namun pada umumnya takut untuk berhadapan dengan argumentasinya sejarawan Barat (salut untuk Prof. Primadi Tabrani).

Berdasarkan catatan yang tertulis di alam sebagai "situs sejarah" baik yang berupa penamaan wilayah serta objek-objek lain yang ada di negara kita sebenarnya menunjukan kemungkinan sangat besar bahwa peradaban manusia berawal dari negara ini (30.000-12.000 SM).



Paradigma sejarah dunia harus dirombak total...

Indonesia tidak pernah mengalami jaman es (Ice Age) sebab berada di atas permukaan pegunungan berapi (ring of fire) dengan titik lintasan matahari paling ideal. Berbeda dengan negara-negara lain yang pernah tertutup es, terutama kawasan Eropa.

1. Awal peradaban dimulai dari daerah Gunung Bata-Ra Guru (Danu Toba), kini kita mengenali masyarakatnya dengan sebutan Bataka-Ra (Batak Karo). Wilayah tersebut sering disebut sebagai "Mandala Hyang" (Mandailing). Ajarannya bernama Surayana (SU-RA-YANA) dengan kiblat Matahari atau Batara Guru (kita menyebutnya sebagai Batara Surya) hingga kita mengenal istilah Satu Sura (Suro). Adapun Batara Durga adalah wakil Matahari (Batara Guru) di Bumi yaitu API.

2. Setelah Gunung Bata-Ra Guru meletus peradaban bergeser ke Gn. Sunda (Gn. Ka-Ra Katwa), biasa disebut sebagai Bwa-Na Ataan (Banten). Plato menyebutnya sebagai Benua Atalan atau Sundaland, ajarannya disebut Sundayana (sama dengan Surayana). Maka, kata "SUNDA" itu bukan nama sebuah etnis di Jawa Barat melainkan nama ajaran yang juga menjadi nama wilayah besar. Sunda merupakan asal kata Su-Na-Da dan itu bukan singkatan tapi kesatuan kalimat. 

SU = Benar/Baik, 
NA = Api,
 DA = Besar/Gede/Agung. 
Kata Sundayana oleh Barat digunakan menjadi "Sunday" dan matahari nya disebut "Sun".

3. Letusan Krakatau menyebabkan pindahnya peradaban menuju daerah Lamba Hyang atau Lambang (Lembang). Konsep kenegaraan pertama di muka bumi berawal dari wilayah ini Gn. Agung (Tangkuban Parahu) dengan konsep "Salaka Domas dan Salaka Nagara" (Dvi-Varna yaitu MERAH = Sinar/RA/BUR/Maha Cahaya/Matahari dan PUTIH = Naga/Penguasa wilayah Gunung Api dan Lautan, sistem kenegaraan berupa Keratuan yang dimulai oleh Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya kemudian dilanjutkan oleh Maharatu Resi Prabhu Sindu La Hyang yang kelak dikemudian hari diteruskan oleh dinasti Warman (Mulawarman) atau dengan konsep kenegaraan SITUMANG (Resi-Ratu-Rama dan Sang Hyang) yang menaungi Da Hyang Su-Umbi (Wilayah Hyang Bumi yang Benar atau PA-DA-HYANG)

Sebutan "Ratu/RA-TWA" tidak sama dengan queen, Ratu artinya sama dengan Rajya (bahasa India). Ratu merupakan kedudukan di Ka-Ra-Twa-an (Keraton) dan gelar penguasanya disebut RA-HYANG untuk wilayah PA-RA-HYANG (Parang).

Di wilayah PA-DA-HYANG (Padang) penguasanya bergelar DA-HYANG berkedudukan di Kedaton (Ka-Da-Twa-an), bertugas sebagai pengelola wilayah besar di luar Parahyang. Datu = Resi.

4. Setelah Tangkuban Parahu meletus pemerintahan berpindah ke Gunung Brahma (Bromo) dengan dua gerbang besar Gunung Sundoro (Sunda-Ra) dan Gunung Sumbing (Su-Umbi Hyang) serta pelataran Dieng (Da Hyang/Padang). Lalu Gununh Su-Meru menjadi penanda puncak kejayaan ajaran Salaka Domas dan Salaka Naga-Ra.


5. Letusan Gunung Bromo menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Gununh Gede (Gunung Agung-Bali), ajaran Sundayana terus berkembang seperti yang disampaikan oleh Prabhu Sindu La-Hyang, dan menjadi semakin pesat dengan nama Udayana (Sundayana).

6. Peradaban pemerintahan Purwanagara ini diakhiri dengan ditetapkannya Gunung Tambo-Ra di Pulo Su-Bawa di masa Maharaja Resi Prabhu Tarus Bawa pada jaman Dwipanta-Ra (jauh sebelum era Nusanta-Ra).

Ajaran Sundayana yang disampaikan oleh Maharatu Resi Prabhu Sindu La Hyang oleh bangsa Jepang disebut Sinto (Shinto). Cikal bakal ajaran Matahari ditetapkan di Su-Mate-Ra sedangkan di Jepang menjadi A-Mate-Ra-Su. 

Di Cina konsep ajaran La-Hyang ini dikenal dengan sebutan "Liong" (Naga dan Ra), kemudian di India ajaran itu disebut Hindu yang diawali dari daerah Jambudwipa, bisa jadi disimbolkan dalam kisah RAMAYANA (RAMA dan SINTA/Shinto/Shindu).

Di Mesir kita mengenal tokoh Dewa Ra. Sebutan itu sesungguhnya tidak tepat, sebab DEWA = Cahaya, dan RA = Pusat Cahaya/Maha Cahaya/Matahari. Jadi : RA adalah INTI dari DEWA. atau RA = MAHADEWA/MAHA CAHAYA. 

Keberadaan RA di Mesir merupakan 'pengakuan' bangsa Mesir terhadap ajaran KETUHANAN bangsa NUSANTA-RA. Bukankah patung Budha yang ada di Borobudur-pun tidak diartikan bahwa Sidharta Gautama ada di Indonesia? demikian pula dengan adanya RA di Mesir.

Walaupun hal tersebut masih berupa "aku-akuan" namun perlu ditelaah lebih lanjut oleh para ahli sejarah, budaya dan kepurbakalaan yang memiliki KECERDASAN. Diluar nantinya "benar atau salah" tentu saja tidak usah khawatir sebab ilmu pengetahuan harus tetap hidup dan berkembang walaupun mengakibatkan terjadinya perobahan besar yang melahirkan paradigma baru.

Profesor Dr Arysio Santos dari Brazil seorang ahli fisika nuklir telah mencoba meneliti tentang keberadaan Benua Atlantis yang kesimpulannya mengarah ke negara Indonesia namun penelitian Santos ditentang keras oleh para sejarawan Barat hingga bukunya dilarang terbit, lebih goblok dan celakanya lagi ilmuwan kita yang bangsa Indonesia asli malah ikut menentang teorinya profesor Brazil itu yang secara tidak langsung memberikan semangat dan mengangkat sedikit derajat bangsa maling ini.
 
Pasti banyak yang tidak setuju yah...! Bisa dimaklum sebab kita adalah bangsa keturunan ubur-ubur yang selalu kalah cerdas oleh bangsa lain keturunan filsuf yunani dan babilonia dan para nabi.

=====================
Budayan Sunda Lucky Hendrawan (Kang Uci)

Tidak ada komentar